:::: MENU ::::
  • Berbagi Ilmu Peternakan

  • Peternak Muda

  • Bangga Menjadi Peternak

Wednesday 3 April 2019

Tanaman leguminosa merupakan hijauan pakan ternak yang sangat dibutuhkan sebagai sumber protein nabati, salah satunya adalah Indigofera zollingeriana (Indigofera). Tanaman leguminosa ini memiliki potensi sebagai hijauan pakan sumber protein dan mineral yang tinggi, struktur serat yang baik dan nilai kecernaan yang tinggi dapat meningkatkan produktivitas ternak ruminansia. Tanaman ini juga toleran terhadap musim kering, genangan air dan tahan terhadap salinitas (Suharlina. 2016).
Benih merupakan biji terpilih untuk tanam atau bahan penelitian, yang lain mengatakan bahwa benih adalah tanaman atau bagian tanaman (misalnya:daun, ranting,cabang,batang,akar,biji) yang dipergukanan untuk perbanyakan dan atau bahan penelitian. Meski dalam dialek daerah dikenal kata bibit(tanaman muda dan bagian dari tanaman bukan biji ) yang akan dipergunkan untuk bahan tanam (Yudono Prapto. 2015).
Menurut Sutopo (1984), benih pada famili leguminosa sering dijumpai sifat kulit biji yang impermeable terhadap air dan gas. Sehingga pada kebanyakan famili leguminosa, termasuk indigofera sp, memiliki masa dormansi. Dormansi pada indigofera termasuk dormansi fisik, yaitu dormansi yang dakibatkan karena kerasnya kulit biji sehingga air maupun gas butuh waktu yang cukup lama untuk dapat masuk dan merangsang tumbuhnya kecambah (R, Hutasoit, Riyadi, Ginting. 2017).
Skarifikasi merupakan salah satu upaya pretreatment atau perawatan awal pada benih, yang ditujukan untuk mematahkan dormansi, serta mempercepat terjadinya perkecambahan biji yang seragam (Lakitan, 2007). Teknik skarifikasi pada berbagai jenis benih harus disesuaikan dengan tingkat dormansi fisik. Berbagai teknik untuk mematahkan dormansi fisik antara lain seperti (Schmidt, 2000) :
a.    Perlakuan mekanis
Perlakuan mekanis pada kulit biji, dilakukan dengan cara penusukan, pengoresan, pemecahan, pengikiran atau pembakaran, dengan bantuan pisau, jarum, kikir, kertas gosok, atau lainnya adalah cara yang paling efektif untuk mengatasi dormansi fisik. Hal ini akan menyebabkan kerusakan fisik terhadap kulit biji yang kemudian diharapkan air maupun gas lebih mudah masuk (Schmidt, 2000).
b.    Perendaman Air panas
Air panas mematahkan dormansi fisik pada leguminosae melalui tegangan yang menyebabkan pecahnya lapisan macrosclereids. Metode ini paling efektif bila benih direndam dengan air panas. Pencelupan sesaat juga lebih baik untuk mencegah kerusakan pada embrio karena bila perendaman paling lama, panas yang diteruskan kedalam embrio sehingga dapat menyebabkan kerusakan. Suhu tinggi dapat merusak benih dengan kulit tipis, jadi kepekaan terhadap suhu berfariasi tiap jenis tergantung pada jenis biji itu sendiri. Umumnya benih kering yang masak atau kulit bijinya relatif tebal toleran terhadap perendaman sesaat dalam air mendidih (Schmidt, 2000).
Pada penelitian Hutasoit R, Riyadi, Ginting SP (2017) meneliti perbandingan daya kecambah pada perlakuan perendaman air panas pada suhu normal (27oc) , suhu 40oc, suhu 60oc, suhu 80oc dan suhu 100oc selama semalaman (12 jam) yang menghasilkan kesimpulan bahwa perlakuan perendaman pada air suhu 100oc memiliki nilai yang paling tinggi.
c.    Perlakuan kimia
Perlakuan kimia dengan bahan-bahan kimia sering dilakukan untuk memecahkan dormansi pada benih. Tujuan utamanya adalah menjadikan agar kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air pada waktu proses imbibisi. Larutan asam kuat seperti asam sulfat dengan konsentrasi pekat membuat kulit biji menjadi lunak sehingga dapat dilalui air dengan mudah (Schmidt, 2000).
Larutan asam sulfat pekat (H2SO4) menyebabkan kerusakan pada kulit biji dan dapat diterapkan baik pada legum dan non legum. Lamanya perlakuan larutan asam harus memperhatikan dua hal yaitu kulit biji dapat diretakkan untuk memungkinkan imbibisi dan larutan asam tidak mengenai embrio. Perendaman selama 15-45 menit dalam larutan asam sulfat pekat menghasilkan perkecambahan 98%. Perendaman selama 1-10 menit terlalu cepat untuk dapat mematahkan dormansi, sedangkan perendaman selama 60 menit atau lebih dapat menyebabkan kerusakan (Schmidt 2000).
d.    Perendaman dengan air

Menurut Sutopo (1993) perendaman dalam air dapat memudahkan penyerapan air oleh benih, sehingga kulit benih yang menghalangi penyerapan air menjadi lisis dan melemah. Selain itu juga dapat digunakan untuk pencucian benih sehingga benih terbebas dari patogen yang menghambat perkecambahan benih. Menurut Schmidt (2000) perendaman dengan air tergenang atau mengalir disebut sebagai metode pencucian zat-zat penghambat perkecambahan dalam buah dan benih. Menurut Schmidth (2002),Cara yang umum dilakukan adalah dengan menuangkan benihdalam air yang mendidih dan membiarkannya untuk mendingin danmenyerap air selama 12-24 jam.

0 comments:

Post a Comment

A call-to-action text Contact us