Tanaman leguminosa merupakan hijauan pakan ternak yang
sangat dibutuhkan sebagai sumber protein nabati, salah satunya adalah
Indigofera zollingeriana (Indigofera). Tanaman leguminosa ini memiliki potensi
sebagai hijauan pakan sumber protein dan mineral yang tinggi, struktur serat
yang baik dan nilai kecernaan yang tinggi dapat meningkatkan produktivitas
ternak ruminansia. Tanaman ini juga toleran terhadap musim kering, genangan air
dan tahan terhadap salinitas (Suharlina. 2016).
Benih merupakan biji terpilih untuk tanam atau bahan
penelitian, yang lain mengatakan bahwa benih adalah tanaman atau bagian tanaman
(misalnya:daun, ranting,cabang,batang,akar,biji) yang dipergukanan untuk
perbanyakan dan atau bahan penelitian. Meski dalam dialek daerah dikenal kata
bibit(tanaman muda dan bagian dari tanaman bukan biji ) yang akan dipergunkan
untuk bahan tanam (Yudono Prapto. 2015).
Menurut Sutopo (1984), benih pada famili leguminosa
sering dijumpai sifat kulit biji yang impermeable terhadap air dan gas.
Sehingga pada kebanyakan famili leguminosa, termasuk indigofera sp, memiliki
masa dormansi. Dormansi pada indigofera termasuk dormansi fisik, yaitu dormansi
yang dakibatkan karena kerasnya kulit biji sehingga air maupun gas butuh waktu
yang cukup lama untuk dapat masuk dan merangsang tumbuhnya kecambah (R, Hutasoit,
Riyadi, Ginting. 2017).
Skarifikasi merupakan salah satu upaya pretreatment atau
perawatan awal pada benih, yang ditujukan untuk mematahkan dormansi, serta
mempercepat terjadinya perkecambahan biji yang seragam (Lakitan, 2007). Teknik
skarifikasi pada berbagai jenis benih harus disesuaikan dengan tingkat dormansi
fisik. Berbagai teknik untuk mematahkan dormansi fisik antara lain seperti
(Schmidt, 2000) :
a. Perlakuan mekanis
Perlakuan mekanis pada kulit biji, dilakukan dengan cara
penusukan, pengoresan, pemecahan, pengikiran atau pembakaran, dengan bantuan
pisau, jarum, kikir, kertas gosok, atau lainnya adalah cara yang paling efektif
untuk mengatasi dormansi fisik. Hal ini akan menyebabkan kerusakan fisik
terhadap kulit biji yang kemudian diharapkan air maupun gas lebih mudah masuk
(Schmidt, 2000).
b. Perendaman Air panas
Air panas mematahkan dormansi fisik pada leguminosae
melalui tegangan yang menyebabkan pecahnya lapisan macrosclereids. Metode ini
paling efektif bila benih direndam dengan air panas. Pencelupan sesaat juga
lebih baik untuk mencegah kerusakan pada embrio karena bila perendaman paling
lama, panas yang diteruskan kedalam embrio sehingga dapat menyebabkan
kerusakan. Suhu tinggi dapat merusak benih dengan kulit tipis, jadi kepekaan
terhadap suhu berfariasi tiap jenis tergantung pada jenis biji itu sendiri.
Umumnya benih kering yang masak atau kulit bijinya relatif tebal toleran
terhadap perendaman sesaat dalam air mendidih (Schmidt, 2000).
Pada penelitian Hutasoit R, Riyadi, Ginting SP (2017)
meneliti perbandingan daya kecambah pada perlakuan perendaman air panas pada
suhu normal (27oc) , suhu 40oc, suhu 60oc,
suhu 80oc dan suhu 100oc selama semalaman (12 jam) yang
menghasilkan kesimpulan bahwa perlakuan perendaman pada air suhu 100oc
memiliki nilai yang paling tinggi.
c. Perlakuan kimia
Perlakuan kimia dengan bahan-bahan kimia sering dilakukan
untuk memecahkan dormansi pada benih. Tujuan utamanya adalah menjadikan agar
kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air pada waktu proses imbibisi. Larutan asam
kuat seperti asam sulfat dengan konsentrasi pekat membuat kulit biji menjadi
lunak sehingga dapat dilalui air dengan mudah (Schmidt, 2000).
Larutan asam sulfat pekat (H2SO4) menyebabkan kerusakan
pada kulit biji dan dapat diterapkan baik pada legum dan non legum. Lamanya
perlakuan larutan asam harus memperhatikan dua hal yaitu kulit biji dapat
diretakkan untuk memungkinkan imbibisi dan larutan asam tidak mengenai embrio. Perendaman
selama 15-45 menit dalam larutan asam sulfat pekat menghasilkan perkecambahan
98%. Perendaman selama 1-10 menit terlalu cepat untuk dapat mematahkan
dormansi, sedangkan perendaman selama 60 menit atau lebih dapat menyebabkan
kerusakan (Schmidt 2000).
d. Perendaman dengan air
Menurut Sutopo (1993) perendaman dalam air dapat memudahkan
penyerapan air oleh benih, sehingga kulit benih yang menghalangi penyerapan air
menjadi lisis dan melemah. Selain itu juga dapat digunakan untuk pencucian
benih sehingga benih terbebas dari patogen yang menghambat perkecambahan benih.
Menurut Schmidt (2000) perendaman dengan air tergenang atau mengalir disebut
sebagai metode pencucian zat-zat penghambat perkecambahan dalam buah dan benih.
Menurut Schmidth (2002),Cara yang umum dilakukan adalah dengan menuangkan
benihdalam air yang mendidih dan membiarkannya untuk mendingin danmenyerap air
selama 12-24 jam.